Pendidikan Kewarganegaraan
merupakan salah satu mata pelajaran di sekolah bahkan menjadi mata kuliah wajib
di beberapa Universitas, salah satunya adalah mata kuliah wajib di Universitas
Gadjah Mada. Hal ini menjadi menarik ketika kita mengetahui banyak siswa atau
mahasiswa yang menganggap remeh mata kuliah ini.
Pada satu sisi pemerintah dan instansi
pendidikan menginginkan anak didiknya memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi
beserta pemahaman yang baik tentang aturan-aturan hingga hak dan kewajiban menjadi
warga negara Indonesia. Akan tetapi di sisi lain para mahasiswa menganggap
suatu hal yang tak perlu mempelajari kewarganegaraan di bangku kuliah. Mereka
banyak berargumen bahwa mata kuliah ini telah cukup mereka dapatkan mulai dari
Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), terutama bagi mereka
yang kuliah di Fakultas nonsosial atau nonpolitik. Seperti mahasiswa-mahasiswi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), mereka beranggapan mata
kuliah kewarganegaraan tidak ada hubungannya dengan bidang keahlian yang mereka
ambil dan menganggap pendidikan kewarganegaraan tidak perlu untuk dipelajari di
FMIPA.
Hal ini terjadi karena kurangnya
pemahaman mahasiswa tentang pentingnya pendidikan kewarganegaraan dalam
kehidupan sehari-hari. Mereka umumnya hanya sekedar mengetahui dan menghafal
pasal-pasal UUD 1945 dan bab-bab lainnya, tanpa adanya pemahaman mendalam yang
kemudian dapat di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, kasus
peremehan mata kuliah pendidikan kewarganegaraan ini terjadi akibat dari adanya
kebobrokkan para pejabat pemerintah Negara Indonesia yang gemar dan terkenal
akan korupsi kolusi dan nepotismenya (KKN).
Dengan fakta ini menjadikan
para mahasiswa tidak merasa bangga berwarganegara Indonesia dan pesimis akan
masa depan bangsa ini. Mereka tidak terpikir akan bagaimana aturan menjadi
seorang saintis yang baik di Indonesia misalnya, atau mengetahui dan faham akan
hak-hak dan kewajiban warga negara Indonesia di bidang pendidikan dan kebebasan
berpendapat. Dengan demikian banyak dari para mahasiswa yang melakukan
demonstrasi dengan cara yang tidak tahu aturan, seperti melakukan kerusuhan dan
merusak fasilitas-fasilitas yang ada. Hal ini jelas terjadi akibat tidak adanya
pemahaman yang baik tentang tata cara berdemonstrasi atau menyampaikan
pendapat. Selain dari pada itu sikap tak tahu aturan yang dilakukan para
demonstran mahasiswa dipicu oleh ketidakbecusan dan keengganan para petinggi
bangsa bahkan wakil rakyatnya untuk mentaati aturan yang berlaku. Hal itulah
sebenarnya yang perlu diperbaiki dalam menata negara Indonesia supaya menjadi
negara yang kokoh dalam penegakkan hukum hingga setiap rakyat maupun pejabatnya
taat terhadap aturan.
Dari pernyataan di atas kita
dapat mengetahui seberapa pentingnya pendidikan kewarganegaraan bagi siswa
maupun mahasiswa di Indonesia. Karena bagaimanapun juga kita hidup di Negara
Indonesia dan mau tidak mau harus mentaati aturan hukum yang berlaku di
Indonesia. Karena apabila kita ingin bangsa ini maju, maka harus ada komitmen
untuk mentaati segala aturan yang berlaku di Indonesia, dan untuk dapat
mentaatinya, maka kita harus mengetahui segala aturan tersebut. Dengan adanya
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan inilah kita dapat mengetahui dan
memahami segala aturan, hak dan kewajiban kita sebagai warga negara Indonesia.
Dari fakta yang kita ketahui, bangsa yang maju adalah bangsa-bangsa yang ketat
dalam penegakan hukum dan patuh dalam mentaati aturan negaranya. Contohnya
adalah Singapura dan Amerika Serikat.
Urgensi pendidikan
kewarganegaraan bagi mahasiswa menurut saya dibutuhkan saat ini. Dengan keadaan
bangsa yang dalam gejolak krisis ini, mahasiswa patut untuk ditumbuhkan
semangat kebangsaan dan cinta tanah airnya. Bagaimanapun para mahasiswa adalah
generasi pengganti bangsa ini di masa mendatang. Dengan pemahaman yang baik dan
aplikasi dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai aturan, maka diharapkan akan
terbentuk suatu jajaran generasi pengganti yang diharapkan dapat mengganti
kebiasaan buruk para pejabat bangsa ini. Selain itu dengan generasi yang
mengerti dan faham akan berwarga negara Indonesia, harapan untuk kemajuan
bangsa ini akan terlaksana.
Tentu saja dalam membangun warga
negara yang memiliki sadar hukum yang tinggi tidak dapat dilakukan secara
instan. Diperlukan waktu yang tidak sedikit dalam membangun rakyat dan pejabat
bangsa ini memiliki kesadaran hukum yang baik dan merasa berkewajiban untuk
membangun negaranya. Hal inilah yang perlu terus-menerus dibenahi dalam
membangun masyarakat Indonesia yang maju dan makmur. Penegakkan hukum yang
tidak tebang pilih juga menjadi PR bagi bangsa ini dalam mencapai cita-citanya.
Salah satu cara dalam mebangun kesadaran cinta tanah air dan berkesadaran hukum
yang tinggi adalah dengan memberikan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Maka dengan demikian para mahasiswa dapat memahami segala bentuk hak-hak dan
kewajibannya sebagai warga negara Indonesia. Pendidikan Kewarganegaraan dapat
membentuk mahasiswanya untuk menjadi warga negara Indonesia yang aktif. Karena
untuk menjadi aktif kita harus tahu ilmu dan segala bentuk pengabdian bagi
bangsa Indonesia yang sesuai aturan, dan semua itu bisa kita dapatkan dalam
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Dengan argumen diatas, maka sebenarnya
tidak ada alasan bagi mahasiswa untuk menolak atau meremehkan mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan. Karena kita hidup dan tumbuh di tanah air
Indonesia, maka mau tidak mau kita harus mengikuti segala bentuk aturan yang
berlaku di Indonesia dan mengetahui hak-hak dan kewajiban kita sebagai warga
negara Indonesia. Perlu diingat, negara yang maju adalah negara yang rakyatnya
memiliki kesadaran hukum yang tinggi. Karena hukum adalah suatu aturan untuk
menata dan mengkoorsinasi dalam mencapai cita-cita suatu bangsa.
METODOLOGI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAN
Secara
tradisional, khususnya di Indonesia, baik dalam rangka mata pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) atau sebelumnya Pendidikan
Moral Pancasila (PMP) maupun dalam rangka Penataran P-4, demokrasi terkesan
lebih banyak diajarkan atau dan bukan dipelajari dengan peran
guru/dosen/penatar/manggala yang lebih dominan. Karena itu situasi kelasnya
pun, dengan meminjam lebih bersifat dominative dan bukan integrative. Dampak
instruksional dan pengiringnya pun tentu tak bisa dielakkan lagi lebih bersifat
pengetahuan atau knowledge oriented. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa
bangsa Indonesia dalam berbagai lapisan sosial terkesan belum bisa menjalankan cita-cita,
nilai, dan prinsip demokrasi (Asia Foundation, 1998).
Keadaan
itulah yang ingin diatasi melalui upaya dikembangkannya paradigma baru
pendidikan kewarganegaraan yang urgensinya tampak begitu kuat, sebagaimana
ditemukan dalam National Survey: Needs-Assessment for New Indonesian Civic Education
(CICED, 1999).
Sebagaimana
dirumuskan sebelumnya, paradigma baru pendidikan kewarganegaraan, yang nota
bene tercakup pendidikan demokrasi dan HAM didalamnya, secara metodologis
menuntut perbaikan dalam ketiga dimensinya, yakni dalam curriculum content and
instructional strategies; civic education classroom; and learning environment
(CICED, 1999a). Pertama, diyakini bahwa isi kurikulum dan strategi
pembelajarannya ditekankan bahwa “…for all levels of schools should be
carefully selected and dynamically organized integratedly upon the bases of
democratic ideals, values, norms, and moral; psychologically relevant to
individual development, contextually relevant to various learning environment,
and scientifically sound” (CICED, 1999a).
Implikasi dari semua prinsip tersebut adalah
bahwa kurikulum dan strategi pembelajaran pendidikan demokrasi seyogyanya
dikembangkan secara sistemik (lintas jenjang, jalur, dan bidang), dengan konsep
dasar demokrasi yang komprehensif (utuh dan lengkap), dan dengan organisasi
kurikulum yang berdiversifikasi merujuk kepada life cycle anak (perkembangan
kognitif, afektif, sosial-moral, dan skill); serta lingkungan belajar setempat
(desa, kota). Dengan kata lain, kurikulum pendidikan demokrasi seyogyanya
mengandung aspek ideal yang bersifat nasional, aspek instrumental yang bercorak
ragam, dan aspek praksis yang adaptif terhadap lingkungan setempat. Oleh karena
itu dalam pengembangan kurikulum dan strategi pembelajaran pendidikan demokrasi
dan HAM, seyogyanya melibatkan para ahli dan praktisi pendidikan
kewarganegaraan; para ahli dan praktisi disiplin sosial terkait seperti:
politik, hukum, sejarah, sosiologi, antropologi, geografi; dan wakil birokrat
pemerintahan daerah dan tokoh masyarakat setempat dan LSM terkait. Isi inti
kurikulum seyogyanya mengandung muatan nasional, muatan regional, dan muatan
lokal.
Pendekatan pembelajaran yang disarankan untuk
dikembangkan adalah yang berorientasi pada proses berpikir kritis dan pemecahan
masalah. Salah satu model pembelajaran yang kini secara internasional
diterapkan secara adaptif adalah model “We the People…Project Citizen” (CCE,
1992-2000). Model ini dikenal sebagai A portfolio-based civic education project
yang dirancang untuk mempraktekkan salah satu hak warganegara, yakni the right
to try to influence the decision people in his/her government make about all of
those problems (CCE, 1998), dengan cara melibatkan siswa melalui suatu “proyek
belajar” yang secara prosedural menerapkan langkah-langkah sebagai berikut:
1)
Identify a problem to study;
2)
Gather Information;
3)
Examine Solutions;
4)
Develop students’ own public policy;
5)
Develop an Action Plan.
Seluruh kegiatan siswa dengan
langkah-langkah tersebut diakhiri dengan penyajian hasil proyek dalam bentuk Portfolio
di hadapan para pejabat publik terkait untuk mendapat tanggapan, dan bila perlu
dijadikan masukan bagi pembuatan kebijakan publik di daerahnya. Hasilnya
ternyata bukan saja siswa menjadi lebih peka dan tanggap terhadap masalah
kebijakan publik tetapi lebih jauh, di banyak negara seperti di beberapa negara
bagian di USA, beberapa kota di Italia, Bosnia, Rusia, Nigeria, Mongolia,
Croatia, Polandia, Ceko, Ukraina, Macedonia, Mesir, Turki, Irlandia, Canada,
Slovenia, Rumania, Jerman, Philippina, Kazkastan, dan beberapa negara emerging
democracies lainnya (CIVITAS, 2000), temuan proyek siswa itu benar-benar
diadopsi oleh pemerintah setempat sebagai bagian dari kebijakan publik di
daerahnya.
Dengan demikian para guru dan siswa dapat
melakukan refleksi betapa bermanfaatnya nilai dan prinsip demokrasi diterapkan
dalam kehidupan di sekolah yang diintegrasikan dengan kehidupan di dalam
masyarakatnya. Di situlah kelas pendidikan demokrasi benar-benar dikembangkan
sebagai laboratorium demokrasi yang tidak dibatasi oleh empat dinding ruangan
kelas. Untuk Indonesia, model tersebut telah diadaptasi menjadi model “Proyek
Kewarganegaraan…Kami Bangsa Indonesia” (PKKBI) yang kini sedang diujicobakan
oleh CICED bekerjasama dengan Kanwil Depdiknas Jawa Barat dan Pusbangkurrandik.
Uji coba dilakukan di enam SLTP Negeri di sekitar Bandung, Jawa Barat, yang
akan berlangsung selama satu caturwulan mulai bulan Agustus sampai dengan
Nopember 2000.
KESIMPULAN
Bila ditampilkan dalam wujud program
pendidikan, paradigma baru ini menuntut hal-hal sebagai berikut (Gandal dan
Finn, 1992; Bahmuller, 1996; Winataputra; 1999):
- Memberikan perhatian yang cermat dan usaha yang sungguh-sungguh pada pengembangan pengertian tentang hakikat dan karakteristik aneka ragam demokrasi, bukan hanya yang berkembang di Indonesia.
- Mengembangkan kurikulum atau paket pendidikan yang sengaja dirancang untuk memfasilitasi siswa agar mampu mengeksplorasi bagaimana cita-cita demokrasi telah diterjemahkan ke dalam kelembagaan dan praktek di berbagai belahan bumi dan dalam berbagai kurun waktu.
- Tersedianya sumber belajar yang memungkinkan siswa mampu mengeksplorasi sejarah demokrasi di negaranya untuk dapat menjawab persoalan apakah kekuatan dan kelemahan demokrasi yang diterapkan di negaranya itu secara jernih.
- Tersedianya sumber belajar yang dapat memfasilitasi siswa untuk memahami penerapan demokrasi di negara lain sehingga mereka memiliki wawasan yang luas tentang ragam ide dan sistem demokrasi dalam berbagai konteks.
- Dikembangkannya kelas sebagai democratic laboratory, lingkungan sekolah/kampus sebagai micro cosmos of democracy, dan masyarakat luas sebagai open global classroom yang memungkinkan siswa dapat belajar demokrasi dalam situasi berdemokrasi, dan untuk tujuan melatih diri sebagai warganegara yang demokratis atau learning democracy, in democracy, and for democracy.Pendekatan dan metodologi pembelajaran yang disarankan untuk dikembangkan adalah yang berorientasi pada proses berpikir kritis dan pemecahan masalah.
0 komentar:
Post a Comment
Click Here to Make Money for FREE!