Monday, March 19, 2012

URGENSI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BAGI PEMBANGUNAN BUDAYA DEMOKRASI DI INDONESIA


Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu mata pelajaran di sekolah bahkan menjadi mata kuliah wajib di beberapa Universitas, salah satunya adalah mata kuliah wajib di Universitas Gadjah Mada. Hal ini menjadi menarik ketika kita mengetahui banyak siswa atau mahasiswa yang menganggap remeh mata kuliah ini.
Pada satu sisi pemerintah dan instansi pendidikan menginginkan anak didiknya memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi beserta pemahaman yang baik tentang aturan-aturan hingga hak dan kewajiban menjadi warga negara Indonesia. Akan tetapi di sisi lain para mahasiswa menganggap suatu hal yang tak perlu mempelajari kewarganegaraan di bangku kuliah. Mereka banyak berargumen bahwa mata kuliah ini telah cukup mereka dapatkan mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), terutama bagi mereka yang kuliah di Fakultas nonsosial atau nonpolitik. Seperti mahasiswa-mahasiswi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), mereka beranggapan mata kuliah kewarganegaraan tidak ada hubungannya dengan bidang keahlian yang mereka ambil dan menganggap pendidikan kewarganegaraan tidak perlu untuk dipelajari di FMIPA.
Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman mahasiswa tentang pentingnya pendidikan kewarganegaraan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka umumnya hanya sekedar mengetahui dan menghafal pasal-pasal UUD 1945 dan bab-bab lainnya, tanpa adanya pemahaman mendalam yang kemudian dapat di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, kasus peremehan mata kuliah pendidikan kewarganegaraan ini terjadi akibat dari adanya kebobrokkan para pejabat pemerintah Negara Indonesia yang gemar dan terkenal akan korupsi kolusi dan nepotismenya (KKN).
Dengan fakta ini menjadikan para mahasiswa tidak merasa bangga berwarganegara Indonesia dan pesimis akan masa depan bangsa ini. Mereka tidak terpikir akan bagaimana aturan menjadi seorang saintis yang baik di Indonesia misalnya, atau mengetahui dan faham akan hak-hak dan kewajiban warga negara Indonesia di bidang pendidikan dan kebebasan berpendapat. Dengan demikian banyak dari para mahasiswa yang melakukan demonstrasi dengan cara yang tidak tahu aturan, seperti melakukan kerusuhan dan merusak fasilitas-fasilitas yang ada. Hal ini jelas terjadi akibat tidak adanya pemahaman yang baik tentang tata cara berdemonstrasi atau menyampaikan pendapat. Selain dari pada itu sikap tak tahu aturan yang dilakukan para demonstran mahasiswa dipicu oleh ketidakbecusan dan keengganan para petinggi bangsa bahkan wakil rakyatnya untuk mentaati aturan yang berlaku. Hal itulah sebenarnya yang perlu diperbaiki dalam menata negara Indonesia supaya menjadi negara yang kokoh dalam penegakkan hukum hingga setiap rakyat maupun pejabatnya taat terhadap aturan.


 
Dari pernyataan di atas kita dapat mengetahui seberapa pentingnya pendidikan kewarganegaraan bagi siswa maupun mahasiswa di Indonesia. Karena bagaimanapun juga kita hidup di Negara Indonesia dan mau tidak mau harus mentaati aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Karena apabila kita ingin bangsa ini maju, maka harus ada komitmen untuk mentaati segala aturan yang berlaku di Indonesia, dan untuk dapat mentaatinya, maka kita harus mengetahui segala aturan tersebut. Dengan adanya mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan inilah kita dapat mengetahui dan memahami segala aturan, hak dan kewajiban kita sebagai warga negara Indonesia. Dari fakta yang kita ketahui, bangsa yang maju adalah bangsa-bangsa yang ketat dalam penegakan hukum dan patuh dalam mentaati aturan negaranya. Contohnya adalah Singapura dan Amerika Serikat.
Urgensi pendidikan kewarganegaraan bagi mahasiswa menurut saya dibutuhkan saat ini. Dengan keadaan bangsa yang dalam gejolak krisis ini, mahasiswa patut untuk ditumbuhkan semangat kebangsaan dan cinta tanah airnya. Bagaimanapun para mahasiswa adalah generasi pengganti bangsa ini di masa mendatang. Dengan pemahaman yang baik dan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai aturan, maka diharapkan akan terbentuk suatu jajaran generasi pengganti yang diharapkan dapat mengganti kebiasaan buruk para pejabat bangsa ini. Selain itu dengan generasi yang mengerti dan faham akan berwarga negara Indonesia, harapan untuk kemajuan bangsa ini akan terlaksana.
Tentu saja dalam membangun warga negara yang memiliki sadar hukum yang tinggi tidak dapat dilakukan secara instan. Diperlukan waktu yang tidak sedikit dalam membangun rakyat dan pejabat bangsa ini memiliki kesadaran hukum yang baik dan merasa berkewajiban untuk membangun negaranya. Hal inilah yang perlu terus-menerus dibenahi dalam membangun masyarakat Indonesia yang maju dan makmur. Penegakkan hukum yang tidak tebang pilih juga menjadi PR bagi bangsa ini dalam mencapai cita-citanya. Salah satu cara dalam mebangun kesadaran cinta tanah air dan berkesadaran hukum yang tinggi adalah dengan memberikan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Maka dengan demikian para mahasiswa dapat memahami segala bentuk hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia. Pendidikan Kewarganegaraan dapat membentuk mahasiswanya untuk menjadi warga negara Indonesia yang aktif. Karena untuk menjadi aktif kita harus tahu ilmu dan segala bentuk pengabdian bagi bangsa Indonesia yang sesuai aturan, dan semua itu bisa kita dapatkan dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Dengan argumen diatas, maka sebenarnya tidak ada alasan bagi mahasiswa untuk menolak atau meremehkan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Karena kita hidup dan tumbuh di tanah air Indonesia, maka mau tidak mau kita harus mengikuti segala bentuk aturan yang berlaku di Indonesia dan mengetahui hak-hak dan kewajiban kita sebagai warga negara Indonesia. Perlu diingat, negara yang maju adalah negara yang rakyatnya memiliki kesadaran hukum yang tinggi. Karena hukum adalah suatu aturan untuk menata dan mengkoorsinasi dalam mencapai cita-cita suatu bangsa.

 METODOLOGI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAN

 Secara tradisional, khususnya di Indonesia, baik dalam rangka mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) atau sebelumnya Pendidikan Moral Pancasila (PMP) maupun dalam rangka Penataran P-4, demokrasi terkesan lebih banyak diajarkan atau dan bukan dipelajari dengan peran guru/dosen/penatar/manggala yang lebih dominan. Karena itu situasi kelasnya pun, dengan meminjam lebih bersifat dominative dan bukan integrative. Dampak instruksional dan pengiringnya pun tentu tak bisa dielakkan lagi lebih bersifat pengetahuan atau knowledge oriented. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa bangsa Indonesia dalam berbagai lapisan sosial terkesan belum bisa menjalankan cita-cita, nilai, dan prinsip demokrasi (Asia Foundation, 1998).
Keadaan itulah yang ingin diatasi melalui upaya dikembangkannya paradigma baru pendidikan kewarganegaraan yang urgensinya tampak begitu kuat, sebagaimana ditemukan dalam National Survey: Needs-Assessment for New Indonesian Civic Education (CICED, 1999).
Sebagaimana dirumuskan sebelumnya, paradigma baru pendidikan kewarganegaraan, yang nota bene tercakup pendidikan demokrasi dan HAM didalamnya, secara metodologis menuntut perbaikan dalam ketiga dimensinya, yakni dalam curriculum content and instructional strategies; civic education classroom; and learning environment (CICED, 1999a). Pertama, diyakini bahwa isi kurikulum dan strategi pembelajarannya ditekankan bahwa “…for all levels of schools should be carefully selected and dynamically organized integratedly upon the bases of democratic ideals, values, norms, and moral; psychologically relevant to individual development, contextually relevant to various learning environment, and scientifically sound” (CICED, 1999a).
 Implikasi dari semua prinsip tersebut adalah bahwa kurikulum dan strategi pembelajaran pendidikan demokrasi seyogyanya dikembangkan secara sistemik (lintas jenjang, jalur, dan bidang), dengan konsep dasar demokrasi yang komprehensif (utuh dan lengkap), dan dengan organisasi kurikulum yang berdiversifikasi merujuk kepada life cycle anak (perkembangan kognitif, afektif, sosial-moral, dan skill); serta lingkungan belajar setempat (desa, kota). Dengan kata lain, kurikulum pendidikan demokrasi seyogyanya mengandung aspek ideal yang bersifat nasional, aspek instrumental yang bercorak ragam, dan aspek praksis yang adaptif terhadap lingkungan setempat. Oleh karena itu dalam pengembangan kurikulum dan strategi pembelajaran pendidikan demokrasi dan HAM, seyogyanya melibatkan para ahli dan praktisi pendidikan kewarganegaraan; para ahli dan praktisi disiplin sosial terkait seperti: politik, hukum, sejarah, sosiologi, antropologi, geografi; dan wakil birokrat pemerintahan daerah dan tokoh masyarakat setempat dan LSM terkait. Isi inti kurikulum seyogyanya mengandung muatan nasional, muatan regional, dan muatan lokal.


Pendekatan pembelajaran yang disarankan untuk dikembangkan adalah yang berorientasi pada proses berpikir kritis dan pemecahan masalah. Salah satu model pembelajaran yang kini secara internasional diterapkan secara adaptif adalah model “We the People…Project Citizen” (CCE, 1992-2000). Model ini dikenal sebagai A portfolio-based civic education project yang dirancang untuk mempraktekkan salah satu hak warganegara, yakni the right to try to influence the decision people in his/her government make about all of those problems (CCE, 1998), dengan cara melibatkan siswa melalui suatu “proyek belajar” yang secara prosedural menerapkan langkah-langkah sebagai berikut:
1)      Identify a problem to study;
2)      Gather Information;
3)      Examine Solutions;
4)      Develop students’ own public policy;
5)      Develop an Action Plan.

Seluruh kegiatan siswa dengan langkah-langkah tersebut diakhiri dengan penyajian hasil proyek dalam bentuk Portfolio di hadapan para pejabat publik terkait untuk mendapat tanggapan, dan bila perlu dijadikan masukan bagi pembuatan kebijakan publik di daerahnya. Hasilnya ternyata bukan saja siswa menjadi lebih peka dan tanggap terhadap masalah kebijakan publik tetapi lebih jauh, di banyak negara seperti di beberapa negara bagian di USA, beberapa kota di Italia, Bosnia, Rusia, Nigeria, Mongolia, Croatia, Polandia, Ceko, Ukraina, Macedonia, Mesir, Turki, Irlandia, Canada, Slovenia, Rumania, Jerman, Philippina, Kazkastan, dan beberapa negara emerging democracies lainnya (CIVITAS, 2000), temuan proyek siswa itu benar-benar diadopsi oleh pemerintah setempat sebagai bagian dari kebijakan publik di daerahnya.

Dengan demikian para guru dan siswa dapat melakukan refleksi betapa bermanfaatnya nilai dan prinsip demokrasi diterapkan dalam kehidupan di sekolah yang diintegrasikan dengan kehidupan di dalam masyarakatnya. Di situlah kelas pendidikan demokrasi benar-benar dikembangkan sebagai laboratorium demokrasi yang tidak dibatasi oleh empat dinding ruangan kelas. Untuk Indonesia, model tersebut telah diadaptasi menjadi model “Proyek Kewarganegaraan…Kami Bangsa Indonesia” (PKKBI) yang kini sedang diujicobakan oleh CICED bekerjasama dengan Kanwil Depdiknas Jawa Barat dan Pusbangkurrandik. Uji coba dilakukan di enam SLTP Negeri di sekitar Bandung, Jawa Barat, yang akan berlangsung selama satu caturwulan mulai bulan Agustus sampai dengan Nopember 2000.
 

KESIMPULAN


Bila ditampilkan dalam wujud program pendidikan, paradigma baru ini menuntut hal-hal sebagai berikut (Gandal dan Finn, 1992; Bahmuller, 1996; Winataputra; 1999):
  1. Memberikan perhatian yang cermat dan usaha yang sungguh-sungguh pada pengembangan pengertian tentang hakikat dan karakteristik aneka ragam demokrasi, bukan hanya yang berkembang di Indonesia.
  2. Mengembangkan kurikulum atau paket pendidikan yang sengaja dirancang untuk memfasilitasi siswa agar mampu mengeksplorasi bagaimana cita-cita demokrasi telah diterjemahkan ke dalam kelembagaan dan praktek di berbagai belahan bumi dan dalam berbagai kurun waktu.
  3. Tersedianya sumber belajar yang memungkinkan siswa mampu mengeksplorasi sejarah demokrasi di negaranya untuk dapat menjawab persoalan apakah kekuatan dan kelemahan demokrasi yang diterapkan di negaranya itu secara jernih.
  4. Tersedianya sumber belajar yang dapat memfasilitasi siswa untuk memahami penerapan demokrasi di negara lain sehingga mereka memiliki wawasan yang luas tentang ragam ide dan sistem demokrasi dalam berbagai konteks.
  5. Dikembangkannya kelas sebagai democratic laboratory, lingkungan sekolah/kampus sebagai micro cosmos of democracy, dan masyarakat luas sebagai open global classroom yang memungkinkan siswa dapat belajar demokrasi dalam situasi berdemokrasi, dan untuk tujuan melatih diri sebagai warganegara yang demokratis atau learning democracy, in democracy, and for democracy.Pendekatan dan metodologi pembelajaran yang disarankan untuk dikembangkan adalah yang berorientasi pada proses berpikir kritis dan pemecahan masalah.

0 komentar:

Post a Comment

Click Here to Make Money for FREE!